• RSS
  • My Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Wednesday 3 December 2008

Mengenal Ipang Wahid

Nama akhirnya boleh jadi mengingatkan pada mantan orang nomor satu
negeri ini. Tidak salah memang, dia adalah keponakan Abdurrahman
Wahid. Tepatnya, Ipang Wahid adalah anak sulung Salahuddin Wahid,
tokoh Nadhlatul Ulama. Namun, jangan mengira dia adalah orang yang
'karatan' bergelut di dunia politik. Ipang nama sebenarnya adalah
Irfan Wahid justru lebih melirik gemerlap dunia periklanan. Setelah
lulus dari Institut Kesenian Jakarta pada 1991, dia pun terbang ke
Amerika untuk mengambil kuliah musik dan bisnis video di The Art
Institute of Seattle.

Di sana, Ipang sempat bekerja di sebuah perusahaan periklanan besar
Amerika. ''Nah, dari situlah saya mulai sampai sekarang jadi
sutradara,'' katanya. Ketika keputusan menjadi sutradara telah mantap,
ada pertimbangan lain yang muncul. ''Waktu itu, wah, saya kalau jadi
sutradara saya harus lihat tabungan dulu. Jangan-jangan tidak dapat
order,'' katanya. Dia pun harus cek tabungan ke bank. Ketika merasa
kondisi keuangan memadai, barulah keputusan menjadi sutradara
benar-benar mantap diambilnya.

''Dua tahun pertama berat sekali. Sekarang, alhamdulillah, dengan
bargaining position yang saya punya, saya bisa mulai kaderisasi.
Sayang, ya, hidup cuma sekali tidak dimanfaatkan benar. Itu moto hidup
saya, hidup bermanfaatlah. '' Saat ini Ipang bisa tersenyum lebar.
Berbagai penghargaan di dunia periklanan telah diraih, ratusan iklan
karyanya sudah berseliweran, bahkan kini dia pun memproduksi sejumlah
tayangan televisi.

Pada wartawan Republika Burhanuddin Bella dan fotografer Amin Madani,
ayah dua anak --Aqilla (9 tahun) dan Atalla (6 tahun) -- dari
perkawinannya dengan Dara Erisa ini menuturkan perjalanan karier
hingga obsesinya.

Bagaimana ceritanya hingga Anda membangun perusahaan iklan sendiri?

Dulu saya bekerja di perusahaan asing sampai 2000, terus freelance.
Saya buka kantor ini sama teman-teman 2002. Namanya, 25 Frames. Itu
istilah teknis saja di film. Kita buka ini dengan tiga visi. Pertama,
kalau dibilang lima PH (rumah produksi) terbesar di Indonesia, waktu
itu paling cuma satu punya orang Indonesia. Kita obsesinya, mau nyodok
lima besar, kalau bisa tiga besar yang terbaik. Terbaik itu dalam hal
sistemnya juga, otomatis. Terus kita mau program kaderisasi, karena
banyak sekali asing. Obsesi kita mencetak tenaga-tenaga unggul. Jadi,
sebenarnya kalau buat teman-teman, ini sekolah sebenarnya. Kita
kepengennya, pegawai maksimal tiga tahun di sini. Setelah itu mereka
harus keluar, freelance.

Sudah banyak kader yang jadi?

Oh, banyak. Sutradara paling tidak ada tiga atau empat orang. Di sini
dari nol. Atau tadinya dari biro iklan, ke sini belajar produksi.
Jadi, bukan hanya sutradara, asisten sutradara juga ada, ya macam-macam.

Bukankah itu sama saja dengan menciptakan saingan? Orang bilang
begitu, ciptain musuh sendiri. Ah, nggaklah. Setiap orang lahir dengan
rezekinya masing-masing. Kalau merasa tersaingi, saya berhenti saja
kaderisasinya. Nggaklah, saya juga kepengen ngerjain yang
ringan-ringan, yang rileks, yang lucu. Ngerjain corporate cenderung
serius. Memang duitnya lumayan besar, antara Rp 2,5-5 miliar, 90 detik.

Anda belajar desain grafis, kenapa mau jadi sutradara?

Sama saja, cuma beda media. Satu medianya cetak, yang satu televisi.
Mungkin karena saya di IKJ, terus saya punya bakat. Tapi sejak 2003,
saya kok merasa semakin ke sini, bosan jadi sutradara. Akhirnya saya
mencoba sesuatu yang lain, sekarang-sekarang ini, nggak tahu kenapa,
mungkin berbarengan dengan apa ya, bahasa kerennya spiritualitas. Saya
itu pengen, kalau dulu cuma bikin iklan sebagai sutradara, sekarang
banyak mencoba untuk membantu teman-teman sebagai konsultan komunikasi.

Apa yang mendorong Anda?

Semenjak saya pulang haji 2001, kayaknya saya intens sekali ke arah
itu. Saya merasa, keluarga saya kental sekali politiknya. Saya
kepengen di dakwah, tapi saya kepengen dakwahnya melalui politik yang
nyata. Jadi, bukan an sich seperti itu. Saya lebih masuk di dakwah
benaran dakwah, partai politik hanya sebagai kendaraan, bukan tujuan
bagi saya.

Dunia Ipang adalah dunia penuh warna. Dia dekat dengan kalangan
pesantren, kuliah di Amerika, hobi fotografi, gemar musik, suka pula
dunia teater. Dengan latar belakang itulah, plus ide yang didapat saat
mandi dan ketika menonton film, iklan-iklan yang dia buat pun tidak
kalah 'berwarna'. Sejumlah penghargaan boleh jadi menjadi bukti
keberhasilan iklan-iklan hasil karyanya. Untuk menyebut sebagian
adalah iklan Nescafe versi 'Donna' yang top dengan sapaan 'Pagi
Donna'. Atau iklan Sampoerna Hijau versi 'Bintang Jatuh' yang
menampilkan empat sekawan. Namun, belakangan dia mengaku enggan
membuat iklan-iklan produk rokok.

Anda dekat dengan lingkungan pesantren. Ada pengaruhnya proses
pembuatan iklan Anda dengan latar belakang itu?

Banyak manfaatnya sih. Nilai-nilai etikanya lebih paham, nilai-nilai
komunikasi kepada masyarakat jadi lebih paham. Saya tahu persis cara
berpikir masyarakat Indonesia karena biasa main-main ke pesantren,
akrab dengan kalangan bawah, jadi tahu pola berpikir mereka,
tindak-tanduk mereka. Itu buat saya membantu. Apalagi nilai-nilai
kultural etika. Jadi, kayak gitu-gitu saya coba. Apalagi sekarang,
saya pun lebih memilih sekali dalam hal cerita. Sekarang saya tidak
mengerjakan rokok.

Ada alasan tertentu?

Saya berhenti merokok belum lama. Alasannya, kita semua tahu itu nggak
baiklah. Kalau saya berhenti merokok, terus saya ngerjain iklan rokok,
bagaimana ceritanya gitu lho.

Apakah latar belakang pesantren ikut mewarnai karya-karya Anda?

Saya rasa nggak terlalu, karena saya nggak pernah di pesantren.
Keluarga saya pun bukan keluarga pesantren. Ayah saya tidak pernah
mondok. Jadi, cuma bau pesantrennya saja sebenarnya. Karena kita dekat
dengan kalangan pesantren, tapi saya juga dekat dengan kalangan
sekuler waktu itu. Saya kan kuliah dua tahun di Amerika. Jadi, suasana
pesantren dan Amerika itu memang kental dalam ini saya. Walaupun
sekarang saya mungkin cenderung ke arah kanan sedikit, tapi taste
Amerika saya masih pegang. Karena biar bagaimana kiblat dalam seni
rupa, western lumayan kuat.

Ada pengalaman yang mengesankan ketika membuat iklan?

Waktu shooting iklan Bank Mandiri yang pita terbang-terbang itu. Saya
lagi naik helikopter untuk shooting di Lombok, tiba-tiba tercium bau
karet. Terus saya bilang, coba ke sana dulu kita mau shooting, lima
menitlah paling. (Kata pilot) 'Nggak Mas, kita turun dulu'. Di bawah
dia bilang, 'Mas, lima menit lagi kita terbang, kita meledak'. Karena
ternyata bau karet itu, mesin. Saya juga pernah shooting di Jambi,
suku Anak Dalam. Ada seminggu kita di sana, di hutan. Wah, menarik banget.

Kabarnya, Anda tergolong sutradara iklan yang mahal di Indonesia?

Kalau mahal saya rasa relatif. Mungkin iya, karena mungkin saya yang
paling senior. Seangkatan sudah mulai menghilang. Tidak mudah
mempertahankan eksistensi kita, apalagi sudah hampir 10 tahun begini,
kalau kita tidak terus dengan inovasi baru, tidak konsisten.

Berasal dari keluarga NU, pria kelahiran Jakarta, 25 Februari 1969,
ini justru tidak banyak berkiprah di organisasi Muslim terbesar di
Indonesia itu. Ketika sang ayah menjadi calon wakil presiden, Ipang
bersama seluruh keluarganya turut diajak bicara. Ketika itu dia sempat
bertanya pada sang ayah. ''Saya bilang, yang dicari apa? Kalau yang
dicari kekuasaan, sayang sekali. Umur ayah saya waktu itu sudah 61,5
tahun. Kalau ikut Rasulullah, tinggal 1,5 tahun. Itu kalau cuma habis
di kekuasaan, sayang. Tapi, kalau niatnya mau dakwah, yuk kita bantu.
Kalau itu sudah jadi pijakan dasar, segala sesuatu jadi enak.''

Dia pun tidak tertarik menjadi anggota legislatif. ''Saya nggak berani
bilang saya nggak mau, karena saya nggak tahu ke depannya seperti apa.
Saya nggak berani mendahului kehendak Allah. Tapi paling tidak, saya
tidak terbayang sekarang.'' Namun, ini tidak berarti Ipang steril dari
dunia politik. Dia adalah salah satu anggota Dewan Pakar Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), bukan di Partai Kebangkitan Bangsa, partai
yang didirikan pamannya.

Sebagian besar keluarga Anda berkiprah di politik?

Ayah saya arsitek dan main band. Satu yang menarik dari keluarga saya
walaupun keluarganya NU banget, terbuka mereka. Sangat demokrat.
Keluarganya Gus Dur kan beda-beda semuanya. Saya salut sekali sama
ayah saya. Orang yang nggak ngoyo. Apa yang diomongin, dilakuin.

Dengan berada di PKS, sebenarnya apa yang Anda cari?

Jalurnya. Jadi, dengan keberadaan saya di PKS, saya senang. Saya bisa
banyak bantuin orang. Sekarang saya coba sama teman-teman Dompet
Dhuafa. Terus Departemen Pertanian. Bagaimana caranya sosialisasi
supaya petani-petani itu benar-benar diberdayakan, dengan konsep
komunikasi yang tepat. Saya mau ambil dakwah di situnya, yang saya bisa.

Memilih di belakang layar?

Saya lebih suka di belakangnya. Saya juga sekarang jadi koordinator PR
Fraksi (PKS). Bagi saya, yang harus dipahami adalah begini. Saya bukan
mau berpolitik, saya mau berdakwah. Orang bilang bohonglah, dakwah
berpolitik itu bagaimana? Untuk kebijakan? Kalau kebijakan itu bisa
gol untuk kemaslahatan umat, itu dakwahnya. Saya mencoba masuk melalui
seperti itu.

Ketika menyatakan tidak tertarik menjadi anggota dewan, apakah Anda
merasa lebih enak jadi sutradara?

Karena saya tahu, jadi sutradara secara ekonomi enak. Saya akui. Kanan
kiri enak, banyak yang saya bisa lakukan sebagai sutradara. Saya punya
program televisi, ada namanya Naik Haji Gratis. Itu saya sama Helmy
Yahya. Terus ada Renovasi Sekolah, dan sekarang baru mau kita buat
sama Ustadz Arifin Ilham, judulnya Cafe Dakwah. Kan enak kalau kita
pakai baju sutradara di situ, semua orang tahu kita bisa lakukan apa
yang kita bisa. Coba kalau kita sebagai anggota dewan, berat banget
mau masuk ke mana-mana. Jadi, sekarang nggak jelas, antara PKS
menggunakan saya atau saya menggunakan PKS. Nggak ada masalah,
tujuannya baik sama-sama.

Kenapa tidak ke PKB?

Mungkin cuma beda gaya aja. Nggak ada yang salah. PKB bagus. Cuma yang
pertama ngontak PKS. Minta bantuin soal legislatif (waktu) Pemilu.
Bersih Peduli (slogan kampanye PKS) itu dari saya sama teman-teman.

Apa tidak pernah diajak masuk NU?

Saya pernah diajak sekali, tapi itu pun bukan sama keluarga, sama
orang PB NU. Lucu gitu lho, di saat orang lain meminta saya menjadi
konsultan mereka, yang dekat malah nggak. Saya juga nggak mau dong,
''Ini gua bisa ini.'' Padahal saya kepengen. Orang tua saya
kelihatannya mau pegang Pesantren Tebu Ireng lagi, saya dukung sekali.
Mungkin itu entri saya untuk masuk dalam komunitas NU. Saya kepengen
sekali masuk ke sana, memberdayakan dengan benar. Maksudnya, saya
punya kenalan, klien-klien saya, itu luar biasa. NU yang di bawah itu
kan banyak sekali yang butuh segala macam. Nah, itu yang saya coba
temui, saya dekati. Sutradara akhirnya menjadi kendaraan saya buat
masuk. Saya berpikir di umur 40 tahun saya sudah berhenti mengerjakan
iklan. Saya mau masuk ke multimedia dakwah. Bukan yang berat-berat,
bukan jam 5 pagi acara televisi. Bagi saya, dakwah itu, malam Minggu
jam 19.30 di Citos (Cilandak Town Square). Nah, itu dakwah.

Ada obsesi Anda yang belum tergapai?

Itu tadi, untuk benar-benar mewujudkan multimedia dakwah modern di
Indonesia. Artinya, pendekatan dakwahnya harus pendekatan multimedia.
Sekarang informasi semua melalui televisi. Saya tidak ada masalah
dengan jamaah tablig, dari masjid ke masjid. Itu bagus sekali. Tapi,
saya masih punya keyakinan kalau melalui televisi, itu mutlak. Karena
semua orang nonton teve, kita yang nyamperin mereka.

Anda pernah bilang tidak mau bekerja di bulan puasa. Alasannya?

Saya tidak mau shooting di bulan puasa. Kalau editing tidak ada
masalah. Shooting melibatkan orang banyak, biasanya lebih dari 50.
Saya tidak kepengen orang-orang tidak berpuasa atau buka puasa di
siang hari gara-gara kerja sama saya. Saya pun belum tentu kuat untuk
shooting di bulan puasa. Sepuluh hari terakhir Ramadhan, saya juga
tidak kerja sama sekali. Saya iktikaf di masjid.

Ada kenangan menarik selama bekerja sama dengan rekan kerja?

Saya pernah di kantor sebelum (kantor) ini. Saya mau shalat, kita
nggak tahu kiblatnya di mana, padahal yang punya Muslim. Harus cari
kompas. Saya shalat di tempat faks, ruangannya kecil. Tidak ada yang
shalat di situ. Beberapa bulan kemudian saya shalat, makmun saya ada
10. Wah, saya mau nangis. Saya tidak terlalu suka mengajari orang
dengan perkataan, tapi dengan perbuatan.

2 comments:

Berikan Kesan Yang Membangun Kawan.....

About Me

I am 26 Years old, Born in one village in east of Region Bulukumba. Educational background Electrical Engineering at State Polytechnic of Ujung Pandang, & Continue to Bachelor Degree In UVRI Management, Economy Faculty. Now i am working at BUMN company (Tonasa Cement Plant)and Active in personal franchise business developer. So U can ask me and share in many things...telecomm,business,self improvement,religious, and Instrumentation Engineering.