• RSS
  • My Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Friday 29 June 2007

Krisis Air Masih Ancam Indonesia

Jakarta – Air yang merupakan zat paling esensial dalam kehidupan, hingga kini diperkirakan masih terus terancam krisis. Di satu pihak ketersediaan makin terbatas, bahkan di beberapa daerah sudah dapat dikategorikan kritis. Di lain pihak kebutuhan manusia akan zat tersebut terus bertambah. Menghadapi ketidakseimbangan tersebut, maka sumber daya air wajib dikelola lebih baik, dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. “Dengan pengelolaan seperti sekarang ini, potensi air di Pulau Jawa terus menyusut hingga tinggal hanya sepertiganya saja kini. Oleh karena itu bila kita tidak memperhatikan masalah ini, maka 15 tahun ke depan kita akan mengalami krisis air,” ucap Sudariyono, Deputi Menteri LH bidang Pelestarian Lingkungan, di Jakarta, Rabu lalu.
Perhitungan ini menurutnya sangat masuk akal, mengingat pada tahun 1930, Pulau Jawa masih mampu memasok 4.700 meter kubik per kapita per tahun. Namun, saat ini total potensinya tinggal sepertiga atau sekitar 1.500 meter kubik per kapita per tahun saja. Jadi kalau kita berpegang pada perhitungan ini, diperkirakan tahun 2020 total potensi air akan menjadi berkurang hingga 1.200 meter kubik per kapita per tahun. Dan kalau diperhitungkan secara kelayakan ekonomi air, yang hanya 35 persen saja yang layak pakai. Berarti potensi aktual air kita hanya tinggal 400 meter kubik per kapita per tahun. “Ini jauh di bawah standar PBB, yaitu 1.100 meter kubik per kapita per tahun,” urai Sudariyono lagi.
Segala masalah ini menurut Sudariyono terjadi lantaran buruknya sistem pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Salah satu masalah yang menurutnya menjadi momok paling utama merupakan masih adanya fragmentasi pengelolaan air antara instansi pemerintah, serta sulitnya koordinasi.
Selain itu masalah pengelolaan sumber daya air yang masih berorientasi pada sisi penyediaan, menjadi alasan berikutnya. Belum lagi masalah borosnya pemakaian air, karena rendahnya efisiensi pemakaian air, baik di sektor pertanian, industri maupun domestik. Dan yang terakhir adalah masalah rendahnya partisipasi masyarakat mengenai hal ini.

Kerja Sama Finlandia
Menyikapi hal ini, maka pemerintah RI dan Finlandia, melalui Kementerian LH memutuskan melakukan kerja sama mengenai masalah ini. Finlandia yang terkenal dengan banyaknya danau-danau dan sungai di negeri mereka, dipercaya bisa membantu memecahkan masalah air di negeri ini. “Kami berharap dengan pengalaman kami menangani masalah air, bisa membantu Indonesia keluar dari masalah krisis air ini,” ungkap Duta Besar Finlandia, H.E. Markku Niinioju, pada kesempatan yang sama.
Bentuk kerja sama ini kemudian juga menelurkan beberapa rekomendasi untuk kebijakan masalah pengairan di Indonesia. Seperti rekomendasi dari Pasi Lehmusluoto, seorang ahli masalah danau di Finlandia. Ia menyarankan agar Indonesia melakukan empat langkah kebijakan untuk memperbaiki sistem pemanfaatan danau.
Yang pertama menurutnya merupakan kebijakan untuk kembali memegang konsep dasar pengelolaan sumber daya air. Kemudian ia juga menyarankan agar kita membuat kebijakan-kebijakan yang merangsang kepedulian masyarakat mengenai masalah ini. “Selain itu kita juga harus mengerti sekali konsep dasar pencarian solusi dan bagaimana melatihnya, agar kita bisa menyelesaikan berbagai masalah yang timbul dalam pengelolaan sumber daya ini,” ucapnya.
Dan yang terakhir ia menyarankan agar pemerintah menggunakan sistem yang terpadu, sebagai senjata utama untuk mengatasi masalah krisis air.

Privatisasi Air
Sementara itu di tengah peningnya kita memikirkan masalah air yang terus menyusut, sementara yang membutuhkan makin membanyak. Pada awal Maret 2005 ini, kita juga dihadapkan pada masalah privatisasi air yang mulai diterapkan. Indikasi ini hadir setelah beberapa waktu lalu pemerintah memutuskan untuk membuka tender untuk pengelolaan air secara swasta di Indonesia.
Tentu saja hal ini sangat mengejutkan banyak pihak, apalagi bila mengingat masih labilnya kondisi perundang-undangan kita mengenai hal ini. Hal yang perlu diperhatikan, dalam masalah ini adalah kenyataan masih banyaknya penduduk Indonesia yang memperoleh air untuk kebutuhan sehari-hari langsung dari sumber air. Jika kemudian sumber airnya dikuasai oleh badan usaha swasta maka jelas akan banyak penduduk yang akan kehilangan akses mereka terhadap air. Mereka tidak bisa lagi mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari, karena swasta tentunya akan menetapkan berbagai peraturan yang bersifat mengamankan aset mereka, itu juga berarti limitasi akses bagi pengguna lainnya.
Dengan menguasai sumber air, maka sebetulnya perusahaan juga akan memiliki kontrol yang sangat besar terhadap sosial ekonomi suatu wilayah. Memiliki hak mengelola sumber air secara praktis jauh lebih menguntungkan karena perusahaan tidak perlu repot-repot berurusan dengan tarif, pekerja dan hal lain yang biasanya menyertai privatisasi PDAM. Enaknya lagi, “kekuasaan” yang dimiliki jauh lebih besar karena dapat mengontrol alokasi air, baik bagi PDAM maupun pemanfaat air lain dari sumber tersebut.

1 comment:

  1. Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 31 Mei 2008

    Matinya Ilmu Administrasi dan Manajemen
    (Satu Sebab Krisis Indonesia)
    Oleh Qinimain Zain

    FEELING IS BELIEVING. C(OMPETENCY) = I(nstrument) . s(cience). m(otivation of Maslow-Zain) (Hukum XV Total Qinimain Zain).

    INDONESIA, sejak ambruk krisis Mei 1998 kehidupan ekonomi masyarakat terasa tetap buruk saja. Lalu, mengapa demikian sulit memahami dan mengatasi krisis ini?

    Sebab suatu masalah selalu kompleks, namun selalu ada beberapa akar masalah utamanya. Dan, saya merumuskan (2000) bahwa kemampuan usaha seseorang dan organisasi (juga perusahaan, departemen, dan sebuah negara) memahami dan mengatasi krisis apa pun adalah paduan kualitas nilai relatif dari motivasi, alat (teknologi) dan (sistem) ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Di sini, hanya menyoroti salah satunya, yaitu ilmu pengetahuan, system ilmu pengetahuan. Pokok bahasan itu demikian penting, yang dapat diketahui dalam pembicaraan apa pun, selalu dikatakan dan ditekankan dalam berbagai forum atau kesempatan membahas apa pun bahwa untuk mengelola apa pun agar baik dan obyektif harus berdasar pada sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan. Baik untuk usaha khusus bidang pertanian, manufaktur, teknik, keuangan, pemasaran, pelayanan, komputerisasi, penelitian, sumber daya manusia dan kreativitas, atau lebih luas bidang hukum, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, keamanan dan pendidikan. Kemudian, apa definisi sesungguhnya sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan itu? Menjawabnya mau tidak mau menelusur arti ilmu pengetahuan itu sendiri.

    Ilmu pengetahuan atau science berasal dari kata Latin scientia berarti pengetahuan, berasal dari kata kerja scire artinya mempelajari atau mengetahui (to learn, to know). Sampai abad XVII, kata science diartikan sebagai apa saja yang harus dipelajari oleh seseorang misalnya menjahit atau menunggang kuda. Kemudian, setelah abad XVII, pengertian diperhalus mengacu pada segenap pengetahuan yang teratur (systematic knowledge). Kemudian dari pengertian science sebagai segenap pengetahuan yang teratur lahir cakupan sebagai ilmu eksakta atau alami (natural science) (The Liang Gie, 2001), sedang (ilmu) pengetahuan sosial paradigma lama krisis karena belum memenuhi syarat ilmiah sebuah ilmu pengetahuan. Dan, bukti nyata masalah, ini kutipan beberapa buku pegangan belajar dan mengajar universitas besar (yang malah dicetak berulang-ulang):

    Contoh, “umumnya dan terutama dalam ilmu-ilmu eksakta dianggap bahwa ilmu pengetahuan disusun dan diatur sekitar hukum-hukum umum yang telah dibuktikan kebenarannya secara empiris (berdasarkan pengalaman). Menemukan hukum-hukum ilmiah inilah yang merupakan tujuan dari penelitian ilmiah. Kalau definisi yang tersebut di atas dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial lainnya tidak atau belum memenuhi syarat, oleh karena sampai sekarang belum menemukan hukum-hukum ilmiah itu” (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1982:4, PT Gramedia, cetakan VII, Jakarta). Juga, “diskusi secara tertulis dalam bidang manajemen, baru dimulai tahun 1900. Sebelumnya, hampir dapat dikatakan belum ada kupasan-kupasan secara tertulis dibidang manajemen. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa manajemen sebagai bidang ilmu pengetahuan, merupakan suatu ilmu pengetahuan yang masih muda. Keadaan demikian ini menyebabkan masih ada orang yang segan mengakuinya sebagai ilmu pengetahuan” (M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, 2005:19, Gajah Mada University Press, cetakan kedelapan belas, Yogyakarta).
    Kemudian, “ilmu pengetahuan memiliki beberapa tahap perkembangannya yaitu tahap klasifikasi, lalu tahap komparasi dan kemudian tahap kuantifikasi. Tahap Kuantifikasi, yaitu tahap di mana ilmu pengetahuan tersebut dalam tahap memperhitungkan kematangannya. Dalam tahap ini sudah dapat diukur keberadaannya baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Hanya saja ilmu-ilmu sosial umumnya terbelakang relatif dan sulit diukur dibanding dengan ilmu-ilmu eksakta, karena sampai saat ini baru sosiologi yang mengukuhkan keberadaannya ada tahap ini” (Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, 2005:18-19, PT Refika Aditama, cetakan ketiga, Bandung).

    Lebih jauh, Sondang P. Siagian dalam Filsafat Administrasi (1990:23-25, cetakan ke-21, Jakarta), sangat jelas menggambarkan fenomena ini dalam tahap perkembangan (pertama sampai empat) ilmu administrasi dan manajemen, yang disempurnakan dengan (r)evolusi paradigma TOTAL QINIMAIN ZAINn (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority, TQZ Administration and Management Scientific System of Science (2000): Pertama, TQO Tahap Survival (1886-1930). Lahirnya ilmu administrasi dan manajemen karena tahun itu lahir gerakan manajemen ilmiah. Para ahli menspesialisasikan diri bidang ini berjuang diakui sebagai cabang ilmu pengetahuan. Kedua, TQC Tahap Consolidation (1930-1945). Tahap ini dilakukan penyempurnaan prinsip sehingga kebenarannya tidak terbantah. Gelar sarjana bidang ini diberikan lembaga pendidikan tinggi. Ketiga, TQS Tahap Human Relation (1945-1959). Tahap ini dirumuskan prinsip yang teruji kebenarannya, perhatian beralih pada faktor manusia serta hubungan formal dan informal di tingkat organisasi. Keempat, TQI Tahap Behavioral (1959-2000). Tahap ini peran tingkah-laku manusia mencapai tujuan menentukan dan penelitian dipusatkan dalam hal kerja. Kemudian, Sondang P. Siagian menduga, tahap ini berakhir dan ilmu administrasi dan manajemen akan memasuki tahap matematika, didasarkan gejala penemuan alat modern komputer dalam pengolahan data. (Yang ternyata benar dan saya penuhi, meski penekanan pada sistem ilmiah ilmu pengetahuan, bukan komputer). Kelima, TQT Tahap Scientific System (2000-Sekarang). Tahap setelah tercapai ilmu sosial (tercakup pula administrasi dan manajemen) secara sistem ilmiah dengan ditetapkan kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukumnya, (sehingga ilmu pengetahuan sosial sejajar dengan ilmu pengetahuan eksakta). (Contoh, dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru milenium III, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas dan D(ay) atau Hari Kerja - sistem ZQD, padanan m(eter), k(ilogram) dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta - sistem mks. Paradigma (ilmu) pengetahuan sosial lama hanya ada skala Rensis A Likert, itu pun tanpa satuan). (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).

    Bandingkan, fenomena serupa juga terjadi saat (ilmu) pengetahuan eksakta krisis paradigma. Lihat keluhan Nicolas Copernicus dalam The Copernican Revolution (1957:138), Albert Einstein dalam Albert Einstein: Philosopher-Scientist (1949:45), atau Wolfgang Pauli dalam A Memorial Volume to Wolfgang Pauli (1960:22, 25-26).
    Inilah salah satu akar masalah krisis Indonesia (juga seluruh manusia untuk memahami kehidupan dan semesta). Paradigma lama (ilmu) pengetahuan sosial mengalami krisis (matinya ilmu administrasi dan manajemen). Artiya, adalah tidak mungkin seseorang dan organisasi (termasuk perusahaan, departemen, dan sebuah negara) pun mampu memahami, mengatasi, dan menjelaskan sebuah fenomena krisis usaha apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistem-(ilmu pengetahuan)nya.

    PEKERJAAN dengan tangan telanjang maupun dengan nalar, jika dibiarkan tanpa alat bantu, membuat manusia tidak bisa berbuat banyak (Francis Bacon).

    BAGAIMANA strategi Anda?

    *) Ahli strategi, tinggal di Banjarbaru, email: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com).

    THANK you very much for Dr Heidi Prozesky – SASA (South African Sociological Association) secretary about Total Qinimain Zain: The New Paradigm - The (R)Evolution of Social Science for the Higher Education and Science Studies sessions of the SASA Conference 2008.

    ReplyDelete

Berikan Kesan Yang Membangun Kawan.....

About Me

I am 26 Years old, Born in one village in east of Region Bulukumba. Educational background Electrical Engineering at State Polytechnic of Ujung Pandang, & Continue to Bachelor Degree In UVRI Management, Economy Faculty. Now i am working at BUMN company (Tonasa Cement Plant)and Active in personal franchise business developer. So U can ask me and share in many things...telecomm,business,self improvement,religious, and Instrumentation Engineering.