• RSS
  • My Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Wednesday 29 December 2010

Mau (Tidak) Menahan Produk China

Jika dilihat pertumbuhan ekonomi  4.5% dan IHSG yang mencapai 2.500 serta nilai tukar yang relatif stabil di Rp. 9.300-9.500, 2009, kita boleh bangga bahwa Indonesia termasuk 3 besar dalam pertumbuhan ekonomi diAsia (RCC,India, Rusia Brazil) serta Indonesia, dibanding dengan negara-negara Asean yang mengalami kontraksi stagnan dan bahkan minus pertumbuhan. Negara Adidaya USA dan negara-negara Eropa lainnya mengalami gonjangan ekonomi yang maha hebat serta angka penggangguran yang cukup tinggi.
Menyambut 2010, antusiasme  tampak terlihat begitu gegap gemita dari semua lapisan masyarakat ataupun pelaku ekonomi dengan harapan adanya perbaikan dalam taraf hidup dan tumbuhnya dunia usaha dimana akan terciptanya lapangan kerja baru, serta membentuk sentra-sentra industri dalam mendorong laju perekonomian negara.
Awal tahun 2010 dikwartal I diimplentasikan ACFTA, ketidaksiapan pemerintah sebagai regulator tampak terlihat nyata, kepanikan tidak hanya terlihat dikalangan pejabat sebagai pengambilan kebijaksanaan tetapi implikasinya pada pelaku usaha lokal. Arus barang-barang China membanjiri pasar kita seperti banjir bandang yang meluluh lantakan semua penghalang yang ada didepannya. Disamping piawai dalam packaging, dalam hal custumer service merekapun menjiwai.
Instrument fiskal sebagai salah satu penerimaan negara boleh jadi pencapaian targetnya tidak tercapai, karena berkurangnya penerimaan akibat deindustrialisasi dimana usaha mikro  sebagai penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini berguguran satu demi satu, sebagai contoh, pengusaha garment dipasar Tanah Abang telah banyak yang gulung tikar akibat kalah bersaing dari produk sejenis yang berasal dari China. Bukan tidak mungkin Pasar Tanah Abang yang selama puluhan tahun yang dikenal sebagai sentra penjualan produk lokal, akan kehilangan identitas dengan beralih fungsi sebagai penjual produk-produk dari luar. Dan setelahnya Pasar Tanah akan hilang dengan sendirinya.
 Disatu sisi Depertemen perindustrian sebagai upaya dalam mendorong daya saing industri selalu menyuarakan pemberian tarif tax holiday kepada perusahaan dari segala aneka industri agar produk-produk dalam negeri bisa bersaing dari produk dari luar. Dan juga dalam upaya menarik pelaku dunia usaha untuk melakukan investasi agar sektor riil dapat segera bergerak. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya seperti Malaysia, Vietnam, Thainland, maka Indonesia sangat jauh dalam pemberian insentif pajak.
 Sekarang ini, product China telah begerak bebas dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dari peralatan rumah tangga, seperti cerek, penanak nasi, barang elektronik,mainan anak, accsoreis mobil bahkan proyek-proyek infrastruktur yang bernilai triliunan rupiah. Bukannya kita takut terhadap produk dari luar, tetapi ketidak siapan kita sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dari sisi ekonomi. Padahal pembicaraan pasar bebas sudah dibicarakan 10 tahun yang lalu pada saat rezim orde baru seperti APEC yang diprakasai diBogor. Akan tetapi semua pejabat publik yang berkepentingan tidak mempunyai roadmap yang jelas untuk diimplementasikan pada generasi sesudahnya. Dan cendrung pekerjaan rumah yang belum terselesaikan atau sudah berjalan baik dihentikan begitu saja atau digudangkan, hanya sekedar tidak mau mencontoh pendahulunya.
Dilihat dari perdagangan non migas antar kedua negara, surplus yang begitu besar yang dinikmati oleh China dari setiap tahunnya, tahun 2007 defisit berdagangan China  mencapai 2.708 miliar dollar AS, 2008 meningkat 7.898 miliar dollar AS dan 2009 sebesar 12.01 miliar dollar AS, meningkat 52%. Sekarang ini China sudah menempati posisi sebagai eksportir terbesar didunia, menggeser Jerman
Tidaklah salah bila Nabi Muhamad SWA bersabda ”Belajarlah sampai kenegeri China” masih akan menjadi pijakan untuk waktu-waktu mendatang, Setelah reformasi ekonomi yang dilakukan oleh Bapak pembaharu ekonomi China Deng Xioping, wilayah-wilayah yang sebelumnya terpinggirkan seperti Czenchen, disulap menjadi wilayah Industri. Boleh dikata, konsep ekonominya memiliki visi yang jelas dan segera diimplementasikan.
Indonesia, sebagai negara dengan kapasitas penduduk nomor lima terbesar didunia, sejatinya bisa memainkan peranan penting dalam perdagangan dengan China, tidak hanya melulu mengandalkan komonitas primier semata, tetapi perlunya didorong sektor non migas. Sudah saatnya kita menyadari bahwa bahan baku adalah karunia ilahi yang suatu saat akan habis. Dan betapa perlunya kita perfikir akibat kerusakan alam yang diciptakan terhadap bekas-bekas tambang seperti, tambang batubara di Kaltim atau tambang Freeport dipapua sana. Jika melihat dari APBD Kaltim 30 triliun dan dinyakini akan meningkat tiap tahunnya, propinsi kaya tersebut sejatinya sudah mendeversifikasikan wilayah dari penyedia bahan baku, menjadi wilayah industri jasa dan penyedia produk jadi. Harapan kita, perlu adanya kemauan dari pelaku usaha untuk menciptakan barang jadi.
 Dengan jumlah penduduk yang begitu banyak, bangsa ini membutuhkan menimal 2% pengusaha untuk dapat menggerakan roda perekonomian. Total perkiraan kewirausahaan yang dimiliki baru hanya 0.19%  dari jumlah penduduk atau sekitar antara 400.000 – 450.000 pengusaha yang ada. Karena kewirausahaan disuatu negara memiliki implikasi langsung terhadap pertumbuhan negara tersebut.
Membuat suatu produk dapat menjadi lebih kompetitif dengan produk pesaing sejenis diperlukan modifikasi dari pos-pos tarif. Hambatan-hambatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi seperti pungutan dan biaya siluman lainnya harus dihilangkan. Diperlukan payung hukum agar peraturan yang telah dibuat dapat dijalankan dengan benar. Efek jera yang dilakukan oleh China dimana koruptor dihukum mati atau kurungan seumur hidup sesuatu yang tidak bisa ditawar, bahwa semua orang sama dihadapan hukum.  Tampa melihat pejabat, politikus, pengusaha atau rakyat jelata, Indonesia diharuskan bisa untuk melakukannya. Segera hentikan suap-menyuap dengan memposisikan hukum sebagai panglima.
Sebagai bentuk perlindungan produk dalam negeri dari gempuran produk dari luar, pemerintah perlu membuat peraturan bahwa setiap barang impor harus sesuai SNI. Bila perlu, jika produksi dalam negeri terasa terancam dengan pertimbangan banyaknya perusahaan-perusahaan yang gulung tikar, permerintah perlu melakukan  renegosiasi terhadap item-item yang telah ditetap walaupun perkerjaan sulit tetapi buah dari keteledoran kita sebagai bangsa.

Oleh Rego Devilla

4 comments:

  1. yupp pemerntah harus selektif :)

    ReplyDelete
  2. Ttp tanggung jawab kita juga sebagai masyarakat mengembangkan industri rumah tangga spt dichina

    ReplyDelete
  3. Pasar tak punya agenda sosial. Hanya berpikir soal profit dan profit. Karena itu, perdagangan bebas akan melahirkan kemakmuran bersama pada dasarnya hanyalah ilusi belaka. Artinya, kita telah ditipu oleh rezim saat ini. Lawan ACFTA!

    ReplyDelete
  4. Yg penting penguasa untung bro....

    klo rakyat menderita sih yah...terserah...

    hehhehehehe


    "Tuan Presiden"

    ReplyDelete

Berikan Kesan Yang Membangun Kawan.....

About Me

I am 26 Years old, Born in one village in east of Region Bulukumba. Educational background Electrical Engineering at State Polytechnic of Ujung Pandang, & Continue to Bachelor Degree In UVRI Management, Economy Faculty. Now i am working at BUMN company (Tonasa Cement Plant)and Active in personal franchise business developer. So U can ask me and share in many things...telecomm,business,self improvement,religious, and Instrumentation Engineering.