• RSS
  • My Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Tuesday 12 April 2011

Amma Toa Dalam Pusaran Transaksi Kebudayaan


Etnis Amma Toa berada di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba. Letaknya kurang lebih 40 km sebelah timur Kota Bulukumba. Keunikan budayanya sudah terdengar hingga ke seluruh penjuru dunia. Keunikan ini pula yang membuat Kajang tiap tahunnya dibanjiri wisatawan mancanegara.
Etnis Amma Toa terkenal dengan falsafah hidupnya ‘Tukamase-masea’ (hidup prihatin). Mereka juga cenderung menutup diri atas masuknya budaya lain. Hal ini dapat terlihat dari aturan-aturan adat, seperti tidak diperbolehkannya warga menggunakan lampu listrik, alat-alat musik modern, dan berbagai hal yang menyimbolkan medernitas.
Warga adat juga tidak diperkenankan untuk hidup bermewah-mewah kendati sebenarnya mereka punya kemampuan untuk itu. Mereka melakoni hidup apa adanya. Prinsip hidup ‘Kamase-Mase’ menurut keyakinan komunitas ini dapat mendekatkan kita pada Sang Pencipta. Sebaliknya, hidup glamour dan bermewah-mewah cenderung membutakan mata hati, sehingga lupa pada Sang Pencipta.
Falsafah hidup Masyarakat Adat Kajang juga mentabukan sifat serakah. Keserakahan adalah sifat binatang yang harus dijauhi. Wujud dari falsafah ini mengejawantah pada larangan warga untuk menanam padi dua kali/musim dalam setahun. Warga hanya diperkenankan untuk bersawah pada musim kemarau. Warga yang kedapatan melanggar, akan dikenakan sanksi adat.
Falsafah hidup ini sudah dipertahankan turun temurun dari generasi ke generasi.
Setidaknya itu yang terpotret dalam diri penulis selama tinggal di Lembang Kahu, Desa Tana Toa Kecamatan Kajang selama lebih dari 10 tahun menemani ayah penulis yang kebetulan bertugas sebagai Guru di SD 113 Luraya.
15 tahun berlalu, penulis kemudian menginjakkan kaki kembali di Tana Toa. Kisah yang terpotret 15 tahun silam tampak berubah. Pakaian kaum mudanya nampak mengikuti model pakaian anak muda kebanyakan. Alat komunikasi seperti handphone pun bukan lagi barang yang langka. Dengan mudahnya kita dapat melihat, orang-orang yang menyelipkan handphone di balik kantong bajunya.
Apa yang terjadi? Demikian tanyaku dalam hati. Mungkinkah falsafah hidup prihatin yang diwariskan turun-temurun sudah mulai terkikis, dan akan hilang ditelan zaman?
Yah … Kisah itu perlahan aus, tergerus oleh budaya global yang semakin kuat melakukan penetrasi. Budaya Kajang yang identik dengan pakaian hitam-hitam dipaksa larut dalam sebuah pusaran transaksi kebudayaan. Identitas yang cenderung menutup diri terhadap kebudayaan luar tak berdaya dihadapan narasi raksasa globalisasi.
Apakah budaya Kajang saat ini sedang menuju senja kala peradaban seperti dalam kajian-kajian kebudayaan? Kebudayaan akan bergerak menuju senja kala peradaban tatkala kebudayaan itu telah kehilangan nafas zaman. Kebiasaan dan tradisi yang dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian.
Mungkin benar, ide modernitas yang terbungkus dalam narasi raksasa globalisasi telah menerjang setiap dimensi kehidupan manusia. Misi uniformitas yang terkandung didalamnya juga melabrak dan bergerak di empat penjuru mata angin, sehingga tidak ada satu tradisi dan budaya yang sanggup bertahan lama dalam posisi berlawanan. Arusnya terlampau kuat untuk dilawan. Dan karena kekuatan itu pula membuat hampir semua budaya (termasuk budaya Kajang) yang dilaluinya menjadi hanyut, atau minimal terkontaminasi.
Saat ini Kebudayaan Kajang sedang berada dalam pusaran transaksi kebudayaan, jika tidak ingin dikatakan sedang dalam proses akuisisi kebudayaan. Sebuah proses dimana kebudayaan di dekonstruksi sekaligus di konstruksi menurut selera dan kepentingan pihak yang meng-akuisisi.
Revitalisasi Budaya
Sesaat lagi, Kebudayaan Kajang hanya akan ditemui di buku-buku sejarah, itupun kalau ditulis. Anak-anaknya akan asing terhadap budaya leluhurnya. Bahkan mungkin merasa gengsi/malu untuk mengakui budaya leluhurnya yang terpinggirkan itu.
Menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Bulukumba, khususnya pemerhati Budaya untuk mencipta program aksi dalam hal penguatan budaya. Pemerintah daerah juga selaku pihak pelindung jangan hanya berdiam diri menyaksikan Kebudayaan Kajang yang sedang Sakaratul Maut.
Mesti ada langkah-langkah strategis untuk menciptakan posisi tawar kebudayaan. Hal ini penting diperhatikan jika tidak ingin kebudayaan itu diakuisisi alias di telan mentah-mentah oleh kebudayaan dominan.
Betul, melawan narasi globalisasi dengan perangkat modernity-nya adalah hal yang mustahil. Kekuatannya yang demikian besar bisa membuat budaya kita hilang dalam sekejap, seperti debu yang tertiup angin.
Tetapi memanfaatkan kekuatan-kekuatan itu untuk merevitalisasi budaya Kajang juga adalah hal yang niscaya. Dari sinilah kejelian dan kepekaan pemerintah daerah maupun pihak lain dituntut untuk mencipta peluang.
Salah satu tawaran dari penulis adalah memunculkan sarung hitam sebagai ikon masyarakat Bulukumba. Langkah pertama bupati bisa membuat Perda tentang keharusan PNS se-Kabupaten Bulukumba untuk memakai sarung hitam pada hari tertentu. Penjualan sarung hitam itu sendiri tidak boleh berada di luar wilayah Kajang.
Jika ini dilakukan, setidaknya dapat: pertama, meningkatkan taraf penghasilan bagi pengrajin sarung hitam yang tentu saja hanya ada di kawasan Amma Toa. Persoalan sarung hitam ini, penjualan mereka selama ini hanya terjadi di antara mereka saja, yakni jika ada acara adat. Kedua, sebagai bentuk nyata dari penguatan budaya Kajang.
Penulis yakin, banyak ide yang bisa lahir jika Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba berkenan untuk turut andil dalam menyelamatkan kebudayaan Kajang, Kebudayaan Amma Toa dengan falsafahnya yang mengagumkan, ‘Tukamase-Masea’

Gowa, 9 April 2011
Di sebuah Rumah Sempit Jelang Tengah Malam.


copas : dr kompasiana
sdr Irwan

2 comments:

  1. falsafahnya rada gimana gitu, hidup prihatin...hmmm

    semoga bisa terlaksana aja supaya budaya tadi tidak lenyap digerus zaman.

    ReplyDelete
  2. @ajeng: yup memang klo org awam menilai pasti rada aneh tp klo liat langsung mereka kesannya tenteram banget,,,,

    ReplyDelete

Berikan Kesan Yang Membangun Kawan.....

About Me

I am 26 Years old, Born in one village in east of Region Bulukumba. Educational background Electrical Engineering at State Polytechnic of Ujung Pandang, & Continue to Bachelor Degree In UVRI Management, Economy Faculty. Now i am working at BUMN company (Tonasa Cement Plant)and Active in personal franchise business developer. So U can ask me and share in many things...telecomm,business,self improvement,religious, and Instrumentation Engineering.