Penjual Gado-Gado |
Sudah hampir setahun lamanya saya tidak pulang ke Jakarta. Selama
belajar di Malaysia, biasanya saya kembali ke Jakarta setiap empat
bulan sekali. Tapi sejak bulan November 2009 lalu, saya tidak pernah
pulang sampai sepuluh hari menjelang Iedul Fitri bulan September 2010
lalu. Maklum, dalam setahun terakhir ini saya mengajak istri ikut ke
Kuala Lumpur.
Hidup di negeri orang tentunya harus banyak menyesuaikan diri dengan
keadaan setempat, termasuk dalam hal makanan. Untungnya lidah kami
berdua cocok dengan lidah orang-orang di sini yang sehari-hari biasa
makan roti canai dan nasi lemak serta minum teh tarik atau Milo suam.
Walaupun begitu, rasa rindu terhadap makanan dan jajanan Indonesia
tentunya juga muncul, apalagi setelah sekian lama tinggal di Kuala
Lumpur.
Alhasil, ketika pulang ke Jakarta pada awal Oktober lalu, kami sama-
sama "ngidam" jajanan Ibukota. Istri saya berkali-kali minta
dibelikan siomay dan beberapa kali mencegat – dengan bantuan
keponakannya tentunya – tukang bakmi yang biasa lewat di depan rumah.
Saya sendiri tidak punya target khusus, tapi selama beberapa hari di
Jakarta, alhamdulillah berbagai macam jajanan berhasil saya jajal.
Dengan begitu, kerinduan yang sekian lama tertahan bisa terpuaskan.
Tetapi, di antara jajanan-jajanan yang ada, masih ada satu yang
sejauh itu belum juga berhasil saya dapatkan … gado-gado. Entah
kenapa, berbagai kesempatan untuk membeli dan mencicipi gado-gado
sepenuhnya terlewatkan. Dan karenanya, selama beberapa minggu, obsesi
makan gado-gado belum juga terpenuhi.
Kira-kira dua minggu setelah lebaran, saya dan keluarga (istri saya
ketika itu tidak ikut) pergi bersilaturahim ke rumah seorang famili
di Bogor. Agak lama juga kami berada di sana. Ketika akan pulang ke
Jakarta, waktu shalat Ashar sudah masuk. Berhubung saya tidak
menjamak shalat, saya turun di sebuah masjid kecil untuk shalat
sementara kakak saya pergi mengambil barang yang tertinggal di rumah
yang kami kunjungi sebelumnya. Selesai shalat, mobil sudah parkir
lagi di depan masjid. Saya masuk ke dalam mobil, sementara kakak saya
gantian masuk ke dalam masjid untuk shalat Ashar.
Belum lama duduk di dalam mobil, seorang bapak tua berjalan tertatih-
tatih menuju mobil tempat saya menunggu. Dengan suara lemah ia
menawarkan makanan yang ia jual sambil menunjuk ke arah gerobak
kusamnya yang diparkir tak jauh dari mobil kami. Karena memang tidak
berniat jajan, serta merta saya menolak tawaran itu dengan halus.
Saya bahkan sudah berniat menolaknya sebelum bapak tua itu menawarkan
barang dagangannya.
Bapak itu masih belum menyerah. Ia sekali lagi menawarkan dagangannya
kepada saya, tidak dengan sifat agresif atau sikap memelas yang
dibuat-buat, tapi dengan permohonan yang nyaris tak mengeluarkan
suara, diiringi dengan rasa putus asa. Lagi-lagi, tanpa menunggu
bapak itu selesai bicara, saya kembali menolaknya secara halus. Saya
hanya meliriknya sedikit, khawatir tatapan saya ke arah penampilannya
yang memelas akan membuat saya terenyuh dan akhirnya mendorong saya
untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak saya perlukan.
Merasa tidak berhasil menawarkan dagangannya kepada kami, bapak tua
itu berjalan tertatih meninggalkan mobil. Saya pikir ia akan langsung
kembali duduk di samping gerobaknya untuk menunggu calon pembeli yang
mestinya – saya pikir – bakal datang cepat atau lambat. Tapi ternyata
tidak! Bapak tua itu berjalan dengan langkah-langkah yang rapuh
memasuki pekarangan masjid. Ia mendekati seorang tukang bangunan yang
sedang merapikan kayu-kayu untuk bahan renovasi masjid dan menawarkan
makanan jajaannya kepada si tukang tadi. Tukang itu pun menggeleng
halus. Dan ia kembali menggeleng ketika bapak tua itu masih berusaha
membujuknya, membuat si bapak berdiri gamang di tempatnya untuk
beberapa saat.
Mungkin karena posisi yang agak jauh dan tidak merasa terganggu oleh
bujukan si bapak tadi, saya merasa lebih bebas untuk memperhatikan
gerak langkah dan keresahannya. Di bawah naungan senja yang mulai
meremang, orang tua itu masih berada di jalan dengan langkah lunglai
dan ekspresi tak berdaya. Pada momen-momen yang singkat itu, beberapa
pertanyaan mulai terlintas di benak saya. Apa yang dijual bapak ini?
Berapa umurnya? Apakah dagangannya ada yang membeli? Mengapa ia
terlihat begitu sedih dan putus asa? Bapak ini adalah kepala keluarga
dari istri dan anak-anak yang mungkin sedang menanti sang ayah datang
dengan membawa rizki tak seberapa yang berhasil diraihnya pada hari
itu. Apakah yang seberapa pada hari itu benar-benar mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan keluarga si bapak?
Gerimis rasa haru mulai turun rintik-rintik di pelataran hati saya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh ibu saya yang ikut mengamati dari
jendela pintu depan. Kasihan Bapak ini, begitu Ibu saya bergumam.
Saya pun mulai merasa kasihan, tetapi rasa kasihan itu masih dalam
bentuk gerimis yang belum cukup kuat untuk membuat seorang segera
bertindak, tetapi ia lumayan memadai untuk membuatnya sadar akan
adanya sesuatu yang membutuhkan respon. Hati saya tergerak untuk
membeli dagangan si Bapak, walaupun mungkin nantinya tidak akan saya
makan. Saya tidak begitu yakin dengan enak tidaknya makanan yang ia
jual, mengingat penampilan gerobaknya yang begitu sederhana.
Mata saya mengawasi bapak itu ketika ia berjalan melewati mobil.
Bapak itu masih menaruh harapan saya mau membeli makanannya, dan kali
ini harapannya tercapai. Saya membuka pintu mobil sedikit dan
tersenyum ke arahnya. Ia berjalan mendekat, masih tertatih-tatih.
"Beli Pak …." pintanya samar sambil menunjuk lemah ke arah gerobak
tuanya.
"Bapak jualan apa?" saya bertanya pada bapak itu sembari bertekad
untuk membeli apa pun yang ia jual.
"Saya jual gado-gado dan rujak …," jawabnya dengan suara yang dalam
dan lemah, seolah ada sisa-sisa kelelahan yang panjang di dalam
dirinya.
Hmmm, gado-gado? Saya merasa kurang yakin. Gado-gado seperti apa yang
ia jual. Terus terang saya ragu kalau saya bakal menyukai gado-gado
yang dibuat bapak ini. Tapi itu tidak penting, karena tujuan utama
saya adalah membantu si Bapak.
"Berapa harga gado-gadonya, Pak?" saya mengajukan pertanyaan yang
biasa diajukan oleh setiap calon pembeli. Tiga ribu rupiah, empat
ribu rupiah? Saya menduga-duga berapa harga seporsi gado-gado si
bapak. Gerobaknya yang kusam malah membuat saya berpikir jangan-
jangan harga seporsi gado-gadonya cuma dua ribu atau dua ribu
limaratus.
"Berapa saja Pak, terserah …, saya senang ada yang beli," jawabnya
dengan suara bergetar. Jawaban itu betul-betul membuat saya
tersentuh. Bapak ini benar-benar sudah menyerah dan mengabaikan
posisi tawarnya. Ia sedang menginformasikan dengan halus bahwa ia
tidak sedang dalam posisi jual-beli. Ia sedang membutuhkan
pertolongan.
Secara spontan tangan saya mengeluarkan uang lima ribu rupiah dan
memberikannya kepada si bapak.
"Saya beli lima ribu, Pak," ucap saya dengan lintasan pemikiran bahwa
uang segitu sudah lebih dari harga standar seporsi gado-gadonya. Si
bapak menerima uang itu dengan rasa syukur. Ia berjalan kembali ke
gerobaknya dengan tubuh gemetar. Saya memperhatikan orang tua itu
berjalan dan seketika saya merasa telah melakukan sebuah dosa karena
hanya memberikan uang sebesar lima ribu rupiah kepadanya.
Baru saja akan mulai membuat gado-gado, si Bapak teringat sesuatu dan
berjalan kembali dengan tertatih-tatih ke arah mobil. Saya merasa
tidak tega dan segera turun dari mobil untuk mencegah supaya si Bapak
jangan berjalan mondar-mandir ke mobil hanya karena ingin menanyakan
sesuatu.
"Pakai ketupat?" tanya si bapak.
"Boleh Pak. Gado-gadonya dibungkus saja, kerupuknya kalau bisa
dipisah," pesan saya sambil mendekat.
Orang tua itu mengangguk dan berbalik kembali ke gerobaknya. Ada
sepercik etos melayani pada gerak-gerik si bapak. Etos untuk
memberikan yang terbaik bagi seorang konsumen. Namun etos itu
terlihat rapuh tergerusi beban hidup yang begitu panjang serta
ketidakpastian yang menghadang di hadapan.
Saya berjalan menuju gerobak tua itu dan ikut berdiri menemani di
samping si bapak. Saya memperhatikan bahan-bahan yang akan
digunakannya untuk membuat gado-gado. Bahan-bahan itu tidak banyak
jumlahnya dan komposisinya terlihat begitu aneh untuk standar
pembuatan gado-gado yang pernah saya cicipi selama ini. Kacang-kacang
goreng yang ia gunakan bahkan masih bulat utuh, lengkap dengan kulit-
kulitnya yang berwarna coklat gelap, membuat tampilan gado-gado itu
menjadi semakin tidak memikat. Saya membayangkan betapa para juru
masak di kota-kota besar memiliki perlengkapan yang begitu mewah
serta bahan-bahan masakan yang sangat lezat dan menarik, sehingga
konsumen-konsumen mereka sanggup mengantri sekian lama untuk bisa
mencicipi makanan-makanan yang harganya cukup mahal itu. Tanpa
mengabaikan rasa iba, sisi professional saya mengatakan bahwa makanan
si bapak ini benar-benar tidak layak jual. Siapa yang mau beli gado-
gado semacam ini? Saya berkata dalam hati dengan perasaan tidak tega.
"Bagaimana jualannya, Pak?" saya bertanya perlahan dan hati-hati.
"Dari pagi baru ada dua orang yang beli, Pak," jawabnya dengan suara
parau. Tangannya yang gemetar masih terus mengulek kacang.
Dagangannya memang tidak laku, gumam saya dalam hati, dugaan saya
ternyata memang benar. Tapi pada saat yang sama saya juga menyadari
bahwa ada kebenaran lain yang sangat menyakitkan. Orang tua ini –
yang seharusnya bisa beristirahat di rumah dengan tenang dengan
mendapat tanggungan dari anggota keluarganya atau jaminan sosial dari
pemerintah – ternyata masih berkeliling untuk mencari nafkah. Baginya
itu tentu bukan sebuah pilihan. Itu merupakan tuntutan hidup yang tak
mampu ditolaknya. Ia yang sudah renta dan layu masih harus
berkeliling mendorong-dorong gerobak tuanya menjajakan gado-gado dan
rujak ke berbagai tempat. Dan pada hari ini, ketika matahari sudah
menjelang terbenam, ia masih belum mendapatkan pembeli kecuali dua
orang.
Ia mulai menaburi bumbu kacangnya dengan potongan tahu, mentimun dan
beberapa bahan lainnya. "Modalnya saja masih belum dapat," ia
melanjutkan dengan suara pelan. Suaranya bagai angin yang bergesekan
lemah dengan dedaunan kering di di musim kemarau. "Saya sendiri
sebenarnya sedang sakit …."
Saya sulit membayangkan itu semua. Lantas bagaimana dengan makan dan
kebutuhan keluarganya pada hari itu? Bagaimana dengan dagangannya
untuk esok hari? Kini saya yang merasa tak berdaya. Saya yang tinggal
di kota, dari keluarga yang berkecukupan, apa yang bisa saya lakukan
untuk orang tua ini? Hanya menyampaikan rasa simpati? Menepuk-nepuk
bahunya dan menganjurkannya untuk bersabar (padahal ia lebih
mengetahui arti kesabaran daripada saya)? Atau saya merasa cukup
hanya dengan mendoakannya? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, saya
hanya bisa mengeluarkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah yang ada
di kantong saya dan menghadiahkannya kepada si bapak ketika orang tua
itu hampir selesai dengan pekerjaannya. Hanya itu yang mampu saya
lakukan. Di kantong saya hampir tidak ada uang lagi. Saya memang
tidak membawa uang yang cukup pada hari itu. Si bapak mengucapkan
terima kasih dengan sisa-sisa suaranya.
Bapak itu membungkus gado-gado dengan kertas coklat. Perlengkapan
dagang si bapak begitu terbatasnya. Ia bahkan tidak mempunyai kantong
plastik untuk menjinjing bungkus gado-gado saya. Ia terlihat
kerepotan mencari jalan untuk membungkus kerupuk. Sebelumnya sempat
saya katakan supaya kerupuknya dicampur saja dengan gado-gado, tidak
perlu dipisah, tapi ia tetap bertekad untuk membungkus kerupuknya
secara terpisah. Lantas diambilnya kertas coklat untuk digunakan
sebagai pembungkus kerupuk. Saya memohon lagi kepadanya supaya ia
tidak perlu bersusah payah seperti itu, biarkan saja saya membawa
gado-gadonya tanpa disertai kerupuk. Tapi ia seperti tidak perduli.
Dengan tangan yang masih gemetaran, ia membungkus kerupuk-kerupuk itu
dengan kertas pembungkus.
Setelah semuanya siap, saya hendak mengambil kedua bungkusan itu
untuk saya bawa ke mobil. Tapi ia menolak dan memaksa untuk ikut
membawakannya sampai ke mobil. Saya betul-betul tak berdaya dan
merasa iba sekaligus kagum melihatnya berjalan tertatih seperti itu.
Ia sedang sakit. Guratan kepayahan yang bercampur dengan rasa syukur
terlihat jelas di wajahnya. Ketika sudah sampai di mobil, kakak saya
yang sudah duduk di kursi pengemudi mengulurkan tangannya untuk
memberikan uang kepada si bapak. Saya tidak tahu berapa besar uang
yang diberikan. Saya pun masuk dan mobil segera bergerak meninggalkan
tempat itu diiringi tatapan sendu dan lambaian tangan si bapak.
Saya meletakkan bungkusan gado-gado itu di dalam sebuah plastik yang
ada di dalam mobil. Saya tidak bisa memakannya, karena tidak ada
sendok di dalam mobil dan rasanya tidak nyaman kalau harus makan
dengan tangan sementara kendaraan terus bergerak. Saya tahu gado-gado
itu akan benyek pada saat nanti tiba Jakarta dan kalau sudah begitu
rasanya tentu jadi semakin tidak enak. Saya tahu gado-gado itu akan
berubah rasa saat tiba di Jakarta nanti, tapi saya bertekad untuk
memakannya, walaupun hanya sedikit. Kami terus berjalan sampai
akhirnya tiba di Jakarta Selatan menjelang Maghrib.
Ketika tiba di rumah, saya langsung menghampiri istri saya dan
menunjukkan bungkusan gado-gado yang ada di tangan saya. "Lihat!"
saya tersenyum kepadanya, "Akhirnya saya mendapatkannya setelah
hampir satu tahun tidak makan gado-gado." Ya. Ini memang gado-gado
pertama yang saya temui dalam satu tahun terakhir!
Istri saya tersenyum. "Jadi akhirnya berhasil juga dapat gado-gado?
Beli di mana?"
Maka saya pun menceritakan seluruh kejadiannya sambil mempersiapkan
gado-gado itu di atas piring. Gado-gado itu sangat banyak sampai-
sampai porsi saya masih lebih dari cukup walaupun saya sudah membagi
sebagian gado-gado itu untuk istri dan ibu mertua saya.
"Apa …?" istri saya langsung protes ketika saya sudah selesai
bercerita, "Kanda cuma memberikan dua puluh ribu untuk bapak tua yang
sedang kesusahan itu? Kenapa tidak memberikan lima puluh ribu atau
lebih lagi?"
"Saya tadi sedang tidak bawa uang Sayang," saya mengelak, "Lagi pula,
yang saya berikan itu sudah hampir mewakili seluruh isi kantong saya."
"Tapi Kanda kan bisa pinjam uang dulu dari Umi (maksudnya Ibu saya),"
ia masih memprotes.
"Iya sih, tapi entahlah tadi saya sama sekali tidak terpikir ke arah
sana," lagi-lagi saya membela diri.
Istri saya masih menyesali apa yang telah terjadi untuk beberapa
waktu lamanya. Dan saya tahu ia benar. Mungkin itu adalah salah satu
hal yang paling saya sesali dalam hidup saya.
Saya terus terbayang-bayang wajah sendu si Bapak tua ketika saya
memakan gado-gado di piring saya. Saya memakan gado-gado itu, dan
terus memakannya dengan lahap. Saya terus memakan gado-gado itu
sampai dasar-dasar piring saya mulai terlihat. Wajah bapak tua itu
terus membayang. Senyumannya yang nyaris tak tampak sudah cukup
memadai untuk menyibak perlahan kerut-kerut di wajahnya sebagai
pembuka jalan bagi sinar matahari sore memantul lepas menjajakan
keceriaan serta kebahagiaan bagi alam di sekitarnya. Bayang-bayang
tangannya yang gemetar tapi ikhlas telah menyadarkan saya bahwa
energi ketulusannya telah menjadi bumbu penyedap yang luar biasa bagi
makanan yang dibuatnya.
Saya terus makan sampai gado-gado di piring saya ludes tak tersisa.
Saya tertegun untuk beberapa saat sambil menatap piring saya yang
sudah kosong. Kini saya sadar sepenuhnya. Saya betul-betul tidak
mampu untuk menolak sebuah kebenaran yang lain … itu adalah gado-gado
paling lezat yang pernah saya makan seumur hidup saya!
Kuala Lumpur, 15 Desember 2010
Ditulis sebagai kenangan untuk Bapak penjual gado-gado di Bogor
Semoga Allah memberi jalan dan kemudahan hingga akhir hayatnya
ditulis dari Salah Satu Surat Kabar Nasional
0 comments:
Post a Comment
Berikan Kesan Yang Membangun Kawan.....