• RSS
  • My Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Friday 23 September 2011

Cinta Memang Tak Harus Memiliki

Cinta Tak Harus Memiliki
Andaikata semua iming-iming kenikmatan dunia itu ia terima, maka bisa dipastikan semua pengikut Nabi akan meninggalkannya. Tapi apa yang terjadi? Para pengikut Rasulullah justru mengorbankan segala-galanya, mulai dari harta, jasa, dan nyawa demi membela manusia sederhana itu.

Syahdan, diceritakan dahulu ada seorang wanita Israel menjumpai seekor anjing yang kehausan di tengah panas terik. Karena merasa kasihan ia memberinya minum sementara dia sendiri membutuhkan air tersebut. Karena ketulusannya itu konon ia diganjar surga padahal ia berlumur dosa. Cerita ini memberi sebuah pelajaran penting tentang besarnya arti sebuah pemberian dan pengorbanan.
Dalam konteks kesalehan Islam, memberi atau bersedekah adalah wujud cinta kasih seseorang kepada yang lainnya entah si pemberi kaya ataukah miskin, tanpa pamrih. Dengan memadukannya dengan Dhuha dan Tahajud, rupanya Al-Amin SAW beserta sahabat-sahabatnya menjadikannya amalan untuk memancing datangnya keberlimpahan rezeki.
Hanya saja kekayaan Nabi beserta para sahabat-sahabatnya tak lebih sering di ceritakan ketimbang ketangguhan mereka di medan perang; di samping memang karena mereka memilih hidup sederhana dan zuhud.
Efeknya pun tak tanggung-tanggung, di samping ia secara sosio-ekonomi dapat memberdayakan umat, segudang keutamaan pun Allah janjikan bagi mereka yang mengamalkannya: Tak ada bala yang mendahuluinya, ia mampu melipatgandakan harta, bahkan mampu menunda kematian.
Cinta adalah rasa, seperti halnya sedih, kesal, gembira, dan sebagainya. Dalam kajian tata bahasa (grammar), cinta, sedih, kesal, dan gembira berposisi sebagai kata sifat (adjective) menurut penulis, kecintaanlah yang seharusnya menjadi kata benda (noun), bukan cinta seperti kekeliruan kita selama ini.
Ketika ditransformasi ke dalam semantik, maka keempat sifat ini ûbegitupula semua sifat lainnya umpama cantik, terang, merahùmerupakan hal yang baru bisa dilihat ketika melekat pada benda konkrit. Mereka bereksistensi dalam bentuk gejala. Dalam hal ini benda konkritnya adalah manusia. Siapa yang bisa melihat cinta? Tak seorang pun bisa. Yang bisa diamati indra hanyalah gejalanya yakni ketika ia terfenomenakan antar manusia. Adapun gejala dari cinta nampak terlihat pada kasus memberi (to give) atau berbagi (to share).
Ada suatu kekeliruan besar yang dibeberkan Erich Fromm melalui bukunya Art of Loving. Menurutnya, manusia-manusia modern adalah manusia-manusia menderita. Ketika seseorang berkata aku mencintaimu kepada pujaan hatinya, saat itu ia sebenarnya meminta atau berharap ingin dicintai oleh lawan jenisnya itu. Namun kebanyakan yang ditemui kemudian tidak lain hanyalah kegagalan demi kegagalan yang diikuti dengan kekecewaan.

Lewat Pencitraan
Hati manusia itu dinamis, hari ini Anda dicintai pasangan Anda, tapi esok atau lusa rasa itu berkurang, dan perlahan mungkin Anda akan ditinggalkan. Tak bisa dimungkiri, inilah penyakit yang melanda sebagian besar umat manusia di seluruh dunia sekarang dan tak jarang muda mudi menyikapi kegagalan itu dengan bunuh diri. Siapa yang bisa menakar isi hati seseorang?
Saat kampanye, seorang calon wakil rakyat akan berusaha meminta kecintaan rakyatnya agar ia dipilih saat pemilu. Emis itu tak berhenti sampai di situ saja. Setelah berhasil menjadi pemimpin, ia harus berusaha agar kekuasaan tetap digenggam. Terkadang kecintaan mereka itu diminta melalui pencitraan.
Laki-laki itu tentu saja Nabi Muhammad SAW. Tangga pertama yang menjadi fondasi kepemimpinannya dan yang seharusnya menjadi fondasi seorang calon pemimpin dimanapun adalah pemimpin yang dicintai.
Dua kubu yang berasal dari suku quraisy pernah hampir berperang hanya gara-gara berdebat siapa yang lebih pantas meletakkan batu Hajar Aswad di posisinya. Tiba-tiba Nabi datang dan disambut sahut salah seorang di antara mereka. itu dia Al-Amin datang... Nabi pun diminta memecahkan kebuntuan itu.
Usai berfikir sejenak ia meletakkan batu hajar aswad pada sehelai kain. Kemudian ia menyeru kepada ketua masing-masing kabilah untuk memegang kedua ujung kain tersebut. Akhirnya batu mulia itu pun diangkat kemudian ditempatkan di posisinya. Alhasil, konflik tak sampai pecah. Kebijaksanaan dan kearifan Nabi itulah yang membuatnya dicintai bahkan oleh kaum quraisy sekalipun, kaum yang menentang ke-Nabiannya semenjak awal-awal risalah.
Tentu kita masih ingat bagaimana penentangan demi penentangan harus dijalaninya ketika hendak meyakinkan beberapa orang-orang terdekatnya untuk mengikutinya di awal-awal turunnya wahyu pertama wajarlah jika Siti Khadijah istrinya dan Ali Bin Abi Thalib yang saat itu masih kecil mempercayainya karena mereka memang mengenal Nabi sebagai orang jujur.
Pamannya sendiri Abu Thalib beserta orang Quraisy lainya dicoba untuk membujuknya namun yang  ia dapatkan hanyalah bujukan serupa untuk berhenti menyebarkan ajarannya. Apakah Sang Nabi gentar? Tidak. Justru dengan lantang ia berkata kepada pamannya itu: kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku dengan maksud agar aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan aku tinggalkan.

Tangga Kepemimpinan
Andaikata semua iming-iming kenikmatan dunia itu ia terima, maka bisa dipastikan semua pengikut Nabi akan meninggalkannya. Tapi apa yang terjadi? Para pengikut Rasulullah justru mengorbankan segala-galanya, mulai dari harta, jasa, dan nyawa demi membela manusia sederhana itu. Rasulullah tak perlu mengguyur mereka dengan materi seperti uang dan jabatan tertentu agar ia dicintai, melainkan sesuatu yang sifatnya humanizing: nasihat, petunjuk, dan teladan yang selatas dengan suara hati.
Ia membimbing umatnya dengan tiga hal tersebut. Inilah tangga kepemimpinan ketiga: pembimbing. Bagaimanapun, salah satu indicator kegagalan seorang pemimpin ialah jika ia tak memiliki generasi penerus.
Mari melongok ke dalam negeri. Seantero nusantara kini pasang mata dan telinga atas berbagai warta korupsi yang begitu membisingkan. Belum tuntas kasus bank Century dan penyelewengan pajak Gayus Tambunan, giliran mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang mencatatkan diri sebagai koruptor kelas kakap di mana ia menyelewengkan dana pembanguan wisma atlet Sea Games.
Setelah tertangkap pasca pelariannya ke Kolumbia, kehebohan demi kehebohan satu persatu ia siulkan ke depan publik. Belakangan ini, sepucuk surat yang terkesan pribadi yang ia kirimkan ke SBY mendapat perhatian masyarakat luas. Di surat itu, ia memohon perlindungan ke SBY atas istrinya yang tengah buron agar tak diapa-apakan. Sebagai gantinya, ia siap divonis.
Bagaimana reaksi sang kepala negara? Tak lebih dari tiga hari surat itu langsung dibalas. Pertanyaannya, sepenting apakah surat itu jika dikaitkan dengan hajat hidup orang banyak? Ribuan surat masuk kepada SBY selama masa jabatannya yang berisi jeritan hati rakyatnya sampai sekarang tak dibalas padahal, penuntasan pelanggaran HAM dan keadilan yang mereka suarakan. Skala prioritas memang ada, tapi berpikirkah SBY bahwa jeritan ribuan rakyatnya lebih penting untuk dijawab ketimbang pelas seorang koruptor?
Salah satu alasan mengapa Nabi Muhammad begitu dicintai adalah karena ia tak membeda-bedakan, namun tegas dalam menyatakan sikap. Lebih dari itu, ia mendengar apa yang disarankan umatnya. Alhasil, ia dikenang sebagai pemimpin yang berkepribadian.
Yang terakhir adalah pemimpin abadi. Andaikata seorang pemimpin negara ingin dikenang sampaipun setelah ia tiada, ia mesti menciptakan sejarah. Dalam konteks indonesia, korupsi wajib digilas tanpa ampun dan tebang pilih, bukannya digunakan sebagai variabel kesuksesan kepemimpinan yang dikemas dalam angka-angka presentase yang kadang manipulatif demi menaikkan citra.

Oleh Andi Syurganda 

3 comments:

  1. CeritaNya baik, akan tetapi penyusunan bahasanya perlu ditingkatkan....:D

    ReplyDelete
  2. @nurlailazahra : hehe, makasih dah mampir yah

    @Andry : Thanks masukannya

    ReplyDelete

Berikan Kesan Yang Membangun Kawan.....

About Me

I am 26 Years old, Born in one village in east of Region Bulukumba. Educational background Electrical Engineering at State Polytechnic of Ujung Pandang, & Continue to Bachelor Degree In UVRI Management, Economy Faculty. Now i am working at BUMN company (Tonasa Cement Plant)and Active in personal franchise business developer. So U can ask me and share in many things...telecomm,business,self improvement,religious, and Instrumentation Engineering.